"Aku punya impian,"kataku pada seorang sahabat semalam saat kami duduk berdua memandang city light Jakarta di kawasan Semanggi. Aku mengatakan pada lelaki itu bahwa aku ingin menarik diri dari dunia dan membeli rumah di desa yang terletak di pegunungan. Untuk melanjutkan hidup, aku akan membeli sepetak tanah dan menjadi petani.
“Gw sempet dah nabung untuk mewujudkan mimpi gw itu,” kataku padanya. Mimpi itu sudah 2 bulan memang memenuhi otakku yang terbatas ini. Kupikir,akan sangat menyenangkan saat bangun pagi dengan suasana yang sepi dan begitu keluar, pegunungan dimana2. Kalau waktu selang, aku ke sungai dan duduk2 saja disitu seharian dan tak perlu memikirkan apapun. Menyenangkan, pikirku.
Dia diam sejenak, entah berpikir atau apaaaa gituh. Lalu, 5 menit kemudian pertanyaan-pertanyaan langsung meluncur dari bibirnya yang entah kenapa selalu pecah-pecah itu.
Kenapa? Kamu nanti beli sabun dimana? Beli baju dimana? Kalau kamu sakit masuk angin siapa yang ngurus? Ga ada air, kamu mandi gimana? Listrik ga ada, lampu ga ada, gimana? Lu mau masak, pake apa? Mau pake kayu kayak waktu kita ke Pangrango? Emang Lu ga bosen? Dan lain-lain…
Dan, dengan segala pembenaran, aku menjawab satu persatu pertanyaan dari lelakiku itu.
“Gw stres karena tahu terlalu banyak itu menyiksa. Tahu kebobrokan orang itu menyiksa. Hari ini, gw menulis soal bapak yang urung naik ke tugu Monas karena tiket berharga Rp7500 dinilainya MAHAL. Betapa orang-orang yang mengaku pejabat negara itu seenaknya korup dan mengambil hak-hak orang lain tanpa rasa dosa.” Jadi, kataku sambung, lebih baik aku tak tahu apa-apa. Aku akan angkat seorang anak untuk menjagaku saat sakit. Baju kubawa dua saja dari Jakarta dan tentu saja ada air meski tak ada listrik. Aku tak perlu televisi, radio, ataupun hiburan lainnya. Lampu pake petromak. Kalau memasak, ya terpaksa pake kayu ditiup-tiup… hehehehe (masih keras kepala ajah).
“KAMU EGOIS,TA” katamu singkat. Loh, kok jadi gw yang egois yah?
“Iya, lu egois karena hanya memikirkan kesenangan lu sendiri. Kita tidak pernah tahu apakah perbuatan kita itu berdampak atau tidak dalam hidup orang lain. 90 persen pejabat itu korup memang benar dan negara ini memang sudah begini. Tapi, bukan berarti kita berhenti berusaha”
“Memang mengandalkan perubahan dari orang-orang tua di kursi pemerintah sudah tak bisa. Satu2nya cara adalah menyiapkan generasi penerusnya dengan pendidikan yang cukup, termasuk pendidikan moral. Masalahnya, gimana mau mendidik, la wong, jatah pendidikan dikurangi demi membayar hutang BLBI yang dikorup ama orang-rang yang sekarang jadi pejabat. Arrrghhh..begitu kompleks,”
(itu belum lagi dana pendidikan yang ada dan kecil itu ternyata dikorup juga. Sejumlah pengadaan buku di jawa tengah dan jogja sana bermasalah karena ternyata buku yang begitu mahal, tak berguna dan tak bisa dipakai. Semoga kasus itu diusut KPK).
(Belum lagi niatan Pemerintah yang sukses memasukkan gaji guru dalam komponen dana 20% dana pendidikan. Akibatnya, dana pendidikan pun dengan mudah mencapai 20%. Entah apa yang ada di otak hakim MK saat memutus kasus itu. Mungkin mereka hanya berpikir, yang penting Pemerintah tidak melanggar konstitusi tanpa melihat efek panjangnya. Gedung-gedung sekolah yang ancur krn ga ada dana bwt ngebenerin. Huffff… jadi inget film Laskar Pelangi)
Lelakiku itu melanjutkan argumennya:
“Kita memang hanya bisa berbuat hal-hal yang kecil. Tapi, hal-hal kecil itu bisa jadi hal besar bagi orang lain. Lu pernah mikirin gak, berapa rupiah yang hilang dari pendapatan warteg tempat biasa lu makan dalam sebulan karena keegoisan itu? Berapa rupiah yang bakal ilang dari pendapatan supir bus yang biasa lu tumpangi ke tempat kerja sebulan? Tukang ojek, dll. Banyak Ta, yang masih kita bisa kerjakan bahkan melalui berita-berita yang kita tulis. Lu ga usah stress mikirin untuk merubah negara ini dalam waktu singkat. KPK ajah butuh 5 tahun persiapan baru keliatan hasilnya. Itu lembaga yang kecil, apalagi negara, lebih lama lagi kaleeeeeee. Negara ini emang dah begini.”
Si Budiman Sudjatmiko pernah mengutarakan soal idenya untuk merevolusi satu generasi tua.”Gw ga setuju idenya waktu dia masih di PRD itu. Terlalu mahal ongkosnya. Bakal banyak massyarakat yang jadi korban” lanjutmu.
“Aku setuju dengan kau,”kubilang. Jadi pilihannya memang hanya melakukan apa yang bisa dilakukan. Sekalipun itu kecil-kecil dan terkadang dinilai tak bernilai.
Ah, kurasa impian ku lambat laun semakin menjauh dan menjauh menjauh.
“Tapi, aku ingin melaksanakan mimpi gw itu pas gw dah tua,”
“Kalau dah tua mah beda lagi atuh”
Dan, malam pun semakin larut. Cerita demi cerita mengalir seperti sungai di musim hujan. Deras. Aku pun mau menapak bumi saja dulu. Tak perlu bermimpi (bc:egois).
3 comments:
ya elah ni anak.. laen kali kalo mau cerita2 tanya dulu bakal off atau on the record, hahahaha...
btw ta, lu coba deh cari setting time-zoning di blogspot, ubah ke GMT +7 kayak di Indonesia, biar gak ngaco neh...
anyway.. LU
Hahahaha jadi ceritanya kecolongan ya Gus. Dituntut atuh pewartanya, menarik tuh dibikin tulisan. Ketika Kisah Percintaan Kena Somasi :)
Ah kangennya aku godain kalian berdua hehehehehe.....
God Bless you both
sebenarnya, gw sudah membuat cara sedemikian rupa agar tak ada nama dalam cerita ini.
tapi, kalian ajah yg ember. semakin membuka tabir siapa sahabat gw itu. hahahahahahahahaaa...
jadi, jangan salahkan gw dunk...
btw, rumah gw bagus bgt kan?
Thx Gus, buat info soal GMT. Heheheh dari dulu gw pengen ngedit, tapi gara2 gaptek yaaah..lu tahu sendiri betapa gapteknya gw ini.
:D
LU
(kok, jadi kangen yah?)
:D
Post a Comment