Friday, October 31, 2008

Perempuan Pabrik

“Ta, beli paramex, stop cold, ama inza,” ujar seorang wanita paruh baya padaku saat hari menjelang sore. Aku masih ingat, saat itu aku duduk di bangku SMP kelas 1. Dia membeli masing-masing obat merek pasaran itu selembar. Sebagai informasi, di Bandung, arti selembar itu sama dengan 4 tablet obat. Mengapa disebut selembar? Karena setiap pack mungil, berisi empat tablet obat.

Seingatku, perempuan itu memang rutin membeli obat-obatan itu untuk menghilangkan sakit kepala dan flu yang selalu menderanya. “Iyah, kepalah sayah teh sakit terus. Meuni nyeri..,” keluh dengan logat sunda yang sangat kental seraya memijat keningnya.
Koyo berwarna putih yang tertempel dikening perempuan pabrik itu-demikian kusebut dia karena aku lupa namanya- pun bergelombang mengikuti gerakan pijatannya.

“Emang kenapa sakit mulu? Ke dokter ajah atuh,” kataku. “Ah, boro-boro ke dokter. Udah ajah dikasih obat ini juga hilang. Teteh teh kan kerja di pabrik. Jadi kalau lembur, suka sakit kepala,” jawabnya.

Sejak aku pindah rumah, tak pernah lagi kubertemu perempuan yang bekerja di pabrik tekstil itu.
***
Aku besar di di daerah Cimahi yang dulu masuk kabupaten Bandung. Kotaku itu merupakan salah satu pusat pabrik tekstil, terutama di wilayah bagian selatan yang membentang dari Cimindi, Leuwigajah hingga Nanjung dan Cibeber.

Sepanjang jalan di wilayah itu, pabrik-pabrik tekstil raksasa berdiri dan mampu menyerap tenaga kerja cukup tinggi. Jangan harap ada pribumi yang memiliki pabrik2 itu. Pengusaha-pengusaha Cina dan Korea semua. Kemana pribumi? Mayoritas menjadi buruh pabrik dengan gaji sekitar 700 rebu. Posisi sudah bagus jika bisa menjadi tenaga administrasi.

Saat lulus SMP atau SMU, teman-teman sepermainanku cukup masuk pabrik dan bekerja. Dengan gaji hanya ratusan ribu rupiah, mereka sudah merasa puas dengan status sebagai buruh kontrak.
***
Tindakan bodoh para pelaku property Amerika akhirnya mulai berimbas ke Indonesia. Beberapa waktu lalu, aku sempat berbincang –jika tak mau dibilang wawancara- dengan salah satu ketua himpunan pengusaha di Indonesia, Sofjan Wanandi.

Ia memprediksikan awal tahun 2009, lebih dari SATU JUTA buruh (terutama pabrik) akan terkena PHK. Kenapa 2009? Karena naik atau turunnya nilai berbagai kontrak ekspor terlihat di akhir tahun.

“Saat ini semua kontrak turun. Pengusaha sedang berjuang bagaimana mempertahankan kontrak-kontrak itu,”” kata dia. Kebayang kalau ekspor harus dibatalkan. Mau dikemanakan semua tekstil hasil kerja dan keringet pabrik itu?

Terlintas juga di otak, bagaimana dengan nasib perempuan pabrik itu. Bagaimana nasib buruh-buruh lain?

Ah, aku tersadar, aku juga buruh kan?

2 comments:

butterfly menikmati dunia said...

SALAM BURUH, REVOLUSI!!!!

udah kaya aktipis belum ta? Hehehehe

Anonymous said...

masalahnya, teori kelas buruh dan kelas pemilik modal ala si karl marx ga bisa tuh nyelesain masalah ini. jadi, revolusi buruh ndak bisa dilakukan bow.
kalau buruh berontak, malah itu akan menjadi bumerang. La wong pengusahanya sudah pada siap gulung tikar...
piye ikki??

si malau tea


someone said, every story has it end. But in life, ending is a new beginning for other stories.