Saturday, January 06, 2007

Buku Harian Nayla (II)

Malam Natal, namboru terisak-isak di kasurnya. Rupanya dia bermimpi tentang lu, Pan.
Lalu??? here we are...di peraduan terakhir lu..TPU Kerkoff Cimahi. pemakaman orang kristen..nama yang lucu..
rupanya sudah banyak orang yang mati dalam enam tahun terakhir. kami sangat sulit mencari makam mu dengan foto yang luntur termakan air hujan.

(NB:kadang-kadang gw kesel juga ama tukang yang membangun makammu. Mengapa mereka tidak membuat tempat penempelan foto itu kedap air.)

Setelah berputar-putar, akhirnya kami menemukanmu. ilalang rupanya sudah memenuhi pusaran kuburmu. Namboru langsung meluapkan kesedihan (baca: KERINDUAN). Demikian pula, mama, aku, dan yang lainnya.

(Setelah beberapa waktu, baru kali ini lagi gw melihat kesusahan mama dalam bentuk air mata. Kerinduan sorang ibu pasti lebih hebat dari pada kerinduan kami sebagai saudaranya. ikatan bathin itu sangat terlihat kali ini. maklumlah, mama berjuang sangat..sangat..sangat keras untuk lu Pan)

Sambil menangis, kami pun kemudian membersihkan tanah dari ilalang yang sebetulnya punya hak hidup juga. tapi, gw sadar, semua yang kami lakukan merupakan luapan emosi semata. Apa pengaruhnya coba, rumput dengan jasad lu di bawah tanah sana? mana makammu sudah di cor.
Sebetulnya, ketika orang sudah mati ya sudah mati saja karena memang begitu siklus makhluk hidup terutama yang namanya manusia. (moses, buku harian Nayla). Aku tahu logika semacam ini. Tapi, ketika berbicara mengenaimu, emosi gw lebih dominan daripada logika. karena gw kangen ama lu Pan. Dan gw selalu sedih setiap kali mengenang lu.
Aku, mama, ucok, susi, dan kedua namboru datang ke kaki bukit itu untuk meluapkan rasa rindu kami ke kamu, Pan. Tak terasa sudah enam tahun ya lu dah ga ada di sisi.. apakah lu di alam sana merasa bahagia atau sedang susah? Ah, pertanyaan emosional seperti ini kerap menggelayut di benak gw. Hmmm, pertanyaan emosional...tapi, mengingat semua yang sudah kita lewati bersama, gw mengijinkan diri gw hanyut sejenak dalam suasana emosional.
Semoga lu tahu, kesulitan secara ekonomi setelah lu pergi tidak pernah disesali mama dan bapak. Walau harus kehilangan rumah dan warung sekalipun gw tahu mama dan bapak tidak pernah menyesalinya. Lebih nekat lagi, mereka sudah mempertaruhkan masa depan keempat anaknya yang lain, demi kesembuhan lu, Pan.
Dan kami, saudara-saudaramu pun tidak pernah menyesal akan hal itu.
Bahkan, gw pribadi merasa sedih dan sedikit bersalah mengapa lu tidak mendapat pengobatan yang layak menjelang hari akhirmu. Saat itu, tak ada uang lagi yang tersisa... maaf , Pan...semuanya sudah habis.

Irfansyah Malau (16 Juli 1983 - 18 September 2000)
we miss you so much. Hope you know that.

from your big sister

No comments:


someone said, every story has it end. But in life, ending is a new beginning for other stories.