Thursday, March 08, 2007

Kepergian Wawan Merubah Hidupku…

Siapa yang akan mengenal sosok Sumarsih sebelum 1998? Mungkin hanya sebagian besar warga di lingkungan rumah Sumarsih di Kompleks Pegawai Setjen DPR RI, Meruya Selatan, Jakarta Barat. Kalaupun ada lagi, mungkin di lingkungan tempat dia bekerja di sekertariat Fraksi Partai Golkar DPR RI, Jakarta.

Layaknya, ibu-ibu lainnya, Sumarsih menjalani kehidupan rumah tangganya dengan sederhana. Itulah sosok perempuan yang lahir di Semarang, 5 Mei 1952 itu sebelum tahun 1998. Seorang ibu rumah tangga yang baik dengan seorang suami dan dua orang anak disisinya. Sumarsih merasakan kebahagiaan sudah lengkap dengan kesehariannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan mengurus keluarga dengan sambil bekerja.

“Saya dulu senang sekali masak. Biasanya, setelah saya pulang dari tempat kerja saya memasak sesuai dengan permintaan anak-anak atau suami,” kata Sumarsih yang menikah dengan Arief Priyadi pada tahun 1977 itu.

Ia mengakui jika hidupnya betul-betul dia curahkan bersama suaminya, Arief, untuk mendidik kedua anaknya yang ia kasihi, BR Norma Irmawan dan BR Irma Normaningsih. Sumarsih ingin membekali anak-anaknya dengan pendidikan setinggi mungkin untuk bekal mereka ketika dirinya atau suaminya telah tiada. “Saya tidak mau meninggalkan kedua anak saya dengan harta benda saja karena harta itu akan habis. Tapi tidak dengan pendidikan,” kata Sumarsih.

Namun, hari kelam itu datang tanpa diundang. Hari dimana kebahagiannya yang sederhana direnggut dengan paksa. Ia mengingat dengan persis, hari itu tanggal 13 November 1998. Anak sulungnya, Norma Irmawan atau yang biasa ia panggil Wawan dikabarkan tertembak oleh aparat. Bahkan, kemudian ia mengetahui anak kesayangannya yang baru duduk di semester lima Univeritas Atmajaya itu harus menemui ujung hidupnya di tangan aparat negara bersenjatakan senapan peluru tajam. Indonesia berduka dengan meninggalnya sejumlah mahasisw

“Saya sungguh terpukul dan seakan tidak percaya. Karena Wawan bilang sama saya kalau dia dibagian logistik dan tidak ikut dalam demonstrasi. Saya memang melarang dia untuk berdemo,” kisahnya dengan pandangan menerawang mengenang luka yang tak kunjung mengering itu.

Peristiwa itu membuat Sumarsih hancur. Selama hampir sebulan lebih, dia tidak mau makan. Bahkan, hingga kini, ia tidak pernah lagi tidur dengan nyaman. “Sayapun tidak pernah memasak. Selama hampir delapan tahun saya tidak memasak lagi. Padahal itu hobi saya,” katanya.

Keibuannya memberontak. Ia ingin mencari keadilan untuk anaknya. Apapun akan dilakukannya. Termasuk berdemo, aktivitas yang dahulu ia larang-larang untuk dilakukan anaknya. Dunia ibu rumah tangganya ia tinggalkan dan perjuangan hak asasi manusia pun menjadi santapan barunya. “Saya hanya ingin pelaku-pelaku pelanggar HAM diadili dan kalaupun kemudian meminta maaf, saya akan terima,” katanya. Sekarang ini, perempuan lulusan SMEA Negeri Salatiga, Jawa Tengah itu aktif diberbagai kegiatan HAM.

Jika dahulu, peristiwa seperti Talangsari, Tanjung Priok, dan peristiwa pelanggaran HAM lainnya hanya sampai sebatas ditelinga, namun kini pelanggaran-pelanggaran itu seperti sudah merasuk dalam jiwanya. “Sekarang saya seperti memiliki link

atau hubungan dengan semua peristiwa pelanggaran HAM itu,”ungkapnya.

Perjuangannya itu pula mengantar dia memperoleh penghargaan kemanusiaan Yap Thiam Hien Award pada 2004.

Apakah Anda pernah lelah memperjuangan keadilan HAM? “Saya sudah lelah. Kalau bisa, saya ingin mati saja sehingga semuanya selesai dan tidak ada beban lagi. Tapi, Tuhan belum juga memanggil saya. Untuk itu, saya akan mengisi sisa hidup saya dengan mencari keadilan untuk anak saya,” katanya. Senyuman tipis menggurat tegas diwajahnya. Keriput dan rambut yang menua seakan mewakili kelelahan Sumarsih.

Bahkan, sekarang dia tidak pernah menyimpan uang hasil penghargaan ataupun bantuan. “Semuanya saya sumbangkan untuk kemanusiaan. Semua uang yang dahulu biasanya saya tabung untuk anak, sekarang hanya singgah sebentar saja di tangan saya,” katanya. (Ita Malau)

No comments:


someone said, every story has it end. But in life, ending is a new beginning for other stories.